Saturday, February 23, 2008

Tani Merdeka 26-Dec-07: Haji Bunyamin - Menggemukkan Domba dengan 'Tawakkal'

" Rona Tani: Haji Bunyamin "

Posted on Wednesday, 26 December 2007, 10:02 WIB oleh: admin

Menggemukkan Domba Dengan “Tawakkal”


Usaha penggemukan domba milik H Bunyamin selalu diminati konsumen. Kuncinya, domba harus berpenampilan sehat dan bersih.





Desa Cimande, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kini tidak saja dikenal sebagai tempat dukun patah tulang dan perguruan silat, tapi juga sentra peternakan domba. Predikat sebagai daerah peternakan domba itu muncul setelah Haji Bunyamin mendirikan “Tawakkal Farm”, sebuah usaha penggemukan domba sejak 1993.

Begitu memasuki mulut desa Cimande, setiap pengunjung atau tamu dengan mudah mencari sang peternak, karena nama Haji Haji Bunyamin sudah begitu dikenal oleh tukang ojek yang mangkal di sana. Peternakan yang dirintis oleh Haji Bunyamin mulai dari usaha kecil-jecilan itu, kini telah berkembang cukup pesat. Di sana sekarang terdapat 1.200 ekor domba, yang ditempatkan dalam lima kandang kayu. Semua kandang terawat bersih, bahkan tidak tercium bau domba.

Bunyamin biasa menerima para tamu di sebuah kamar sekaligus tempatnya bekerja, yang berada persis di depan kandang domba. Para tamu yang berkunjung ke sana datang dari berbagai kalangan. Mahasiswa jurusan peternakan Universitas Padjajaran dan Institut Pertanian Bogor (IPB) misalnya, sering kali menjadikan peternakan Bunyamin ini sebagai tempat magang. Begitu pula para karyawan yang memasuki masa pensiun, seperti karyawan Bank Indonesia dan BRI, sengaja datang untuk mempelajari cara beternak domba sebagai persiapan usaha bila masa pensiun tiba.

“Tapi saya sendiri tidak punya ilmunya. Saya hanya tukang angon,“ kata Bunyamin merendah. Domba-domba hasil penggemukan Bunyamin memang sudah dikenal, bukan saja di Bogor tapi hingga ke wilayah Tangerang dan Jakarta. Biasanya domba-domba itu masuk ke restoran untuk sop atau sate, dan juga untuk kurban pada hari raya Idul Adha.

Untuk restoran di kawasan Ciawi hingga Puncak saja, terdapat 32 rumah makan yang menyediakan sop dan sate kambing. Menurut survei yang dilakukan Haji Kadir, seorang pemilik rumah makan khusus menyediakan sop dan sate di Cisarua, untuk kebutuhan seluruh rumah makan di kawasan itu dibutuhkan 560 ekor domba setiap hari atau 560 ekor dalam seminggu. Rumah makan milik Haji Kadir saja membutuhkan delapan ekor domba per hari, dan kalau malam minggu bisa sampai 14 ekor.

“Untuk memebuhi kebutuhan rumah makan dari pasar Ciawi sampai Puncak saja saya tidak sanggup. Kesanggupan saya paling hanya dua hari dalam seminggu,”aku Bunyamin. Harga per kilo domba Rp 17.500. Namun, memasuki bulan haji bisa melonjak sampai Rp 25 ribu per kilo. Di tingkat peternak, domba memang dihitung kiloan.

Meski sudah 14 tahun menggeluti usaha penggemukan domba, Bunyamin merasa masih belum pantas disebut sebagai peternak domba yang sukses. Baginya, peternak yang sukses salah satu persayaratannya harus sudah punya lahan sendiri, tempat menanam rumput sebagai makanan utama domba.

Untuk saat ini guna memenuhi kebutuhan pakan domba-dombanya, Bunyamin masih harus mencari rumput ke kawasan lain di sekitar Cimande. Tapi, saat musim kemarau lokasi tempat pengambilan rumput semakin jauh, sehingga harus menambah beban transportasi. Setidaknya, dalam sehari, 120 karung rumput harus disediakan untuk semua dombanya, yang diberi makan sebanyak dua kali, pagi dan sore.

Tidak heran bila domba-domba milik Bunyamin tampak sehat. Bulu-bulu dombanya tidak dibiarkan tumbuh tak terawat. Ketika domba dari warga yang dibelinya masuk ke peternakan, harus dicukur biar bersih. Kukunya dipotong secara berkala. Obat cacing juga rutin diberikan untuk membersihkan isi perutnya. Sebab, menurut pensiunan pegawai negeri sipil di Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor ini, hampir semua kambing yang dipelihara warga pasti terkena penyakit cacing.

Domba yang sehat dan terawat adalah daya tarik tersendiri bagi konsumen. “Mereka akan merasa puas dengan domba seperti ini, “ kata lelaki kelahiran Cianjur, Jawa Barat, 2 Mei 1956 ini. Apalagi bila melihat domba Garut atau sering disebut domba tangkas yang khusus untuk domba adu. Harga bibitnya saja bisa mencapai Rp 3 juta. Di peternakan milik Bunyamin, harga domba Garut ditentukan oleh “tongkrongannya”. Artinya, kalau penampilannya bagus dan bersih harga seekor domba Garut bisa mencapai Rp 15 juta.

Keberhasilan Bunyamin menggeluti usaha penggemukan domba, bermula dari hobi memelihara domba. Ketika itu pada 1990, Bunyamin memelihara enam ekor domba di belakang rumahnya. Ketika lebaran haji tiba, dia memotong tiga ekor dan menjual tiga ekor lainnya. Rupanya, penjualan tiga ekor ini memberi keuntungan lumayan, sehingga terpikir olehnya untuk meneruskan usaha jual beli domba.

Akhirnya, pada 1993, Bunyamin mendirikan Tawakkal Farm. Untuk tempat pemeliharaannya Bunyamin membeli lahan secara mencicil, tak jauh dari rumahnya yang kini dijadikan kandang sekaligus tempat tinggal 20 orang karyawannya.

Namun di tengah keberhasilan itu, Bunyamin sebenarnya memiliki trauma dalam usaha peternakan. Kisahnya terjadi antara tahun 1982 hingga1987, ayah seorang putera membuka usaha ayam potong. Jumlah ayam potongnya saat itu mencapai 110 ribu ekor. Hingga 1985 usahanya itu terbilang sukses, sehingga Bunyamin berhasil membeli dua truk dan sebuah kendaraan pick-up untuk keperluan angkutan ternak dan lainnya.

Tapi, tatkala memasuki 1986, harga pakan ayam mulai naik, sementara harga jual ayam potong di pasar setiap kali panen justeru anjlok. Akibatnya, biaya produksi tidak tertutupi oleh penghasilan. Pada saat yang sama dia juga harus bersaing dengan pengusaha ayam potong kelas konglomerat yang memiliki peralatan dan modal kuat. “Akhirnya saya bangkrut,” cerita Bunyamin mengenai masa lalunya itu. Dua buah truk dan seluruh angkutan, serta semua peralatan peternakan ludes dijual.Bunyamin menyebut kejatuhan atau kebangkrutan itu dengan sebutan “dipatok ayam”.

Masih beruntung saat itu Bunyamin tidak punya utang. Sementara ada kawan-kawannya sesama peternak ayam potong lebih tragis lagi. Menurut cerita Bunyamin, ada peternak ayam potong mati mendadak karena kaget, dan ada pula yang harus menjual rumah tinggalnya, dan pindah ke gubuk yang sebelumnya digunakan untuk beternak ayam.

Pengalaman menyakitkan itu membuat Bunyamin makin awas dalam memilih jenis ternak untuk usaha. Dia pun kemudian memilih usaha penggemukan domba. Karena, dia yakin, domba akan memberinya keberuntungan. “Sebab harganya stabil,” katanya optimistis. Mudah-mudahan.


Bila Musim Haji Tiba

Lebaran haji adalah masa panen buat pengusaha peternakan domba, seperti Bunyamin. Sebab, pada Hari Raya Kurban itu seluruh isi kandangnya akan terjual habis. Bahkan, 20 hari menjelang lebaran haji, seluruh dombanya sudah bukan milik dia lagi alias sudah dipesan orang. Malahan, ketika Tani Merdeka berkunjung ke peternakanya tiga minggu menjelang puasa, ada 563 domba yang sudah dipesan untuk kebutuhan Idul Adha. Itu berarti setengah dari isi kandangnya, sudah dipastikan berpindah tangan ke konsumen.

Para pemesan itu tak lain para pelanggan tetap Bunyamin. Mareka adalah para pedagang domba dan kambing asal Jakarta. Juga, mesjid-mesjid atau institusi yang sudah terbiasa memesan domba kurban kepadanya, seperti Kawasan Berikat Nusantara (KBN) di Jakarta Utara yang sudah empat tahun berlangganana domba Bunyamin. Tidak ketinggalan Keluarga Cendana, setiap kurban memesan 200 ekor darinya.

Bunyamin memang bukan satu-satunya pemilik usaha penggemukkan domba untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Dan, Bunyamin mengaku tak mungkin bisa memenuhi kebutuhan pasar yang demikian besar. “Setiap lebaran haji, saya masih kekurangan 12 mobil boks domba,” katanya. Setiap mobil box berisi 40 ekor domba. Artinya, untuk memenuhi kebutuhan itu para konsumen harus mencari ke usaha peternakan lain.

Nah, untuk mengantisipasi permintaan pasar yang terus menanjak, Bunyamin akhirnya harus bekerjasama dengan orang lain. Salah satu diantaranya, seorang pejabat polisi yang kini sedang berdinas di Sulawsi Utara. Polisi yang pernah dinas di Bogor ini menitipkan ratusan domba kepada Bunyamin untuk dipelihara. Bila musim haji tiba, Bunyamin pun ikut membantu menjualkannya.

Sebagai pengusaha peternakan yang sukses kini Bunyamin punya obsesi untuk menjadikan Desa Cimande sebagai sentra domba terbesar di Jawa Barat. Dia sudah mulai melangkah kearah itu. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memberi kesempatan warga memelihara enam ekor domba. Bila sudah cukup umur, lima domba diambil oleh Bunyamin, dan satu ekor lagi menjadi milik warga. “Mereka boleh memilih domba yang mereka sukai, “ ujar Bunyamin. Ini namanya usaha untuk kemajuan bersama.(Imam Firdaus)

foto : Mustafa Kemal

Kompas 6-Feb-08: Prabowo "Kampanye" di Televisi

Prabowo "Kampanye" di Televisi

Rabu, 6 Februari 2008 | 15:05 WIB

JAKARTA, RABU-Mantan Panglima Kostrad dan Danjen Kopassus Letjen (Purn) Prabowo Subianto "berkampanye" di televisi.

Dalam kapasitasnya sebagai ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Prabowo mengimbau agar rakyat Indonesia membeli produk-produk bahan makanan dari dalam negeri.

Dalam iklan berdurasi sekitar satu menit, Prabowo digambarkan sedang menyapa para petani. Selain itu, ditampilkan pula gambar kegiatan para petani di Indonesia. Narasi dari iklan tersebut adalah suara dari Prabowo.

Konsep dari iklan "Prabowo dan Petani Indonesia" mirip dengan konsep saat Prabowo berkampanye jelang Pemilu Presiden 2004. Intinya, mengajak rakyat Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan.(ROY)

Tani Merdeka, Jan-Feb 2008: Sertani I - Padi Lokal Tahan Kering

" Info Tani: Sertani I "

Posted on Tuesday, 12 February 2008, 07:20 WIB oleh: kemal

Padi Lokal Tahan Kering

Galur unggul lokal Sertani 1 tahan kering serta punya daya tahan tubuh yang kuat. Hasilnya lebih tinggi dari padi hibrida impor

Hati Winarto kini sedang berbunga-bunga. Pasalnya, pada panen akhir tahun lalu -- dari lahan miliknya seluas satu hektar -- petani asal Desa Nambah Dadi, Kecamatan Terbanggi, Lampung Tengah itu, bisa memetik keuntungan mencapai Rp7 juta. Hasil itu, tentu saja, membuat Winarno merasa heran, karena diperoleh dari kondisi lahan kering..

Desa Nambah Dadi, menurut Winarto, kondisi tanahnya memang kering. Sebelumnya, untuk jenis padi Ciherang di lahan seperti ini menghasilkan paling banyak 5 ton/ hektar. Tapi, menjelang bulan puasa tahun lalu – di saat hari sedang panas-panasnya – Winarto menanam padi jenis yang tidak banyak membutuhkan air, dan hasilnya 10 ton/hektar.

Atas keberhasilan panennya kali ini, Winarto tak bakal melupakan jasa Surono Danu, penangkar galur lokal Sertani 1, jenis padi yang dia tanam itu. Sertani adalah akronim Serikat Tani Indonesia, nama sebuah kelompok tani di Lampung, dan Surono yang disebut oleh Winarto itu termasuk salah seorang anggota pengurusnya.

“Waktu itu Pak Surono menawarkan untuk mencoba menanam benih Sertani 1, tanpa ragu saya langsung menyanggupinya,” tutur Winarto. Karena ditanam di lahan kering, maka cara menanamnya pun berbeda dengan menaman padi di lahan berair atau sawah. Caranya, lahan lebih dulu dilobangi dengan sebatang kayu yang salah satu ujungnya agak diruncingkan, atau dikenal dengan istilah menugal. Benih padi dimasukkan ke dalam lobang tersebut, kemudian ditutup tanah.

Rupanya, cerita Wiunartp, benih yang diberikan Pak Surono itu memang bukan jenis yang butuh banyak air. Meski minim air, namun bulir setiap malai (tangkai) padi tersebut bisa menghasilkan 500-600 bulir berbentuk lonjong. Dan, dalam tempo 105 hari sejak tanam, Winarto sudah bisa melihat hasilnya, ya itu tadi.

Pengalaman Tamis lain lagi. Kepala Desa Kebun Damar II, Mataram Baru, Lampung Timur, itu terpesona dengan Sertani 1 karena daya tahannya terhadap serangan hama dan penyakit. Saat tikus sawah menyerang di desanya, banyak batang padi yang rusak. Namun tak lama kemudian, batang padi tersebut mampu tumbuh lagi dengan anakan yang jauh lebih banyak. “Begitu pula dengan hama wereng dan keong emas, meski sudah dimakan, pasti akan tumbuh lagi,” imbuh anggota basis Sertani Sukamaju itu.

Bukan hanya itu, benih padi yang mengapung setelah semai (bila disemai di tanah berair), ternyata masih bisa ditanam lagi dan menghasilkan pula tangkai dan bulir padi yang lumayan banyak. “Bila sudah dipanen, maka pangkal padi tidak usah dicabut, tapi tinggal kasih pupuk saja, panen pun masih bisa diraih. Jadi, dalam sekali tanam bisa panen tiga kali,” begitu kata Tamis mengungkapkan berbagai kelebihan Sertani I ini

Adalah Surono yang menciptakan jenis padi Sertani I ini. Ia mengawinkan jenis padi unggulan lokal yang indukannya asli Lampung, tapi memiliki karakter padi liar. Yakni antara Dayang Rindu (pejantan) dengan Si Rendah Sekam Kuning dan Si Rendah Sekam Putih (betina). Tetua padi lokal ini memiliki umur panen sampai 150 hari. Tapi, “Saya hanya memendekan umurnya menjadi 105 hari dan maksimal 110 hari,” ujar Surono. Sedangkan sifat liar dan tahan penyakitnya tetap dipertahankan.

Benih Sertani 1 itu kemudian disebarkan kepada segenap anggota Sertani, dan sudah ditanam di 170 ribu hektar sawah di Lampung. Untuk tanah yang cukup bagus, hasilnya bisa mencapai 16 ton per hektar lebih. Padi ini juga ditanam di lahan milik Komunitas Tumbuh Bersama di Desa Suykajadi, Cariu, Jawa Barat. Dan, pada saat panen raya, belum lama ini, hasil yang diperoleh mencapai 12 ton per hektar.

Mindo Sianipar selaku ketua Komunitas Tumbuh Bersama menyatakan, apa yang dilakukan Surono itu adalah langkah inovasi bidang pertanian yang sudah selayaknya dihargai. “Saat ini pemerintah gencar melakukan impor benih padi hibrida dari Cina, padahal kita punya tenaga penangkar padi kelas internasional,” ungkap Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI bidang pertanian ini.

Mindo lalu membandingkan benih hibrida impor dengan Sertani I. Benih hibrida impor hanya mampu menghasilkan paling banyak 6 ton per hektar, belum lagi penyakit yang dibawanya. Sedangkan Sertani 1, selain produktivitasnya tinggi juga tahan hama dan penyakit. “Karena itu kita harus tolak benih impor, dan kita coba galakkan para petani lokal,” ujar Mindo bersemangat.

Komentar senada juga datang dari Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir. Dia mengaku baru melihat ada padi lokal dengan keunggulan seperti Sertani 1. ”Ini sudah revolusi pertanian,” kata Winarno.

Meski telah terbukti hasilnya, namun Surono enggan mempatenkan temuannya ini. Karena itu, dia menamakan benih temuannya ini dengan sebutan galur. Sedangkan kalau sudah dipatenkan, dinanamakan varietas. “Petani tidak butuh paten, tapi yang penting hasil dari usaha pertanian yang dijalankan,” kata Surono memberi alasan. Benar juga.

Protes Terhadap Benih Impor

Menjadi penangkar padi adalah pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan ketekunan ekstra. Surono Danu, sang penangkar Sertani1, membuktikan hal itu. Dia sudah bangun sejak pukul 02.00 dini hari untuk mengawasi bulir padi, dan membuka serbuk sarinya. Menjelang pukul 04.00, serbuk sari yang sudah terbuka itu kemudian dikawinkan. Alat pembuka serbuk sari hanyalah pinset. “Hanya itu alat yang saya gunakan,” kata Surono. Ini adalah proses yang terbilang rumit, karena padi tidak boleh rusak. Kemudian sisa dari bulir padi yang tidak dikawinkan, harus dibuang.

Lalu, padi yang sudah dikawinkan itu ditutup plastik, dan diberi lubang untuk sirkulasi udara. Nah, pukul 06.30 adalah saat tanaman padi kawin. “Saya harus bangun lebih pagi, agar tidak keduluan proses perkawinan padi secara alami,” kata ayah lima anak ini.

Setiap saat, Surono harus terus memantau setiap bulir padi yang telah dikawinkan, untuk melihat tingkat keberhasilan proses perkawinan. Banyaknya bulir padi yang dikawinkan, tergantung kecepatan sang penangkar. Dalam sehari bisa 10-20 bulir padi yang dikawinkan. Namun, kata Surono, dalam 10 ribu bulir yang berhasil paling hanya satu.

Langkah selanjutnya, padi hasil perkawinan itu diujicoba secara terus menerus, sehingga menghasilkan galur padi yang diinginkan. Jangan membayangkan Surono bekerja dalam sebuah laboratorium dengan fasilitas lengkap. Dia bahkan mengaku tidak punya lahan secuil pun untuk ujicoba.

Menurut cerita Surono, semua ujicoba padi dilakukan dalam pot di halaman rumahnya di Bandar Lampung, dan alat yang digunakan hanya pinset. Tidak heran bila usaha menghasilkan galur unggul lokal dari Sertani 1 hingga Sertani 16 memakain waktu sampai 22 tahun.

Selain Sertani I, Surono juga melakukan usaha persilangan padi galur Bancul 2, namun mengalami berbagai hambatan. Galur unggul lokal ini memiliki keunggulan, yakni tahan banjir. “Inilah padi masa depan,” kata Wakil Ketua Komisi IV yang membidangi masalah pertanian Mindo Sianipar.

Soalnya, menurut Mindo, dalam iklim yang tidak menentu seperti sekarang ini, di mana banjir dan kekeringan datang silih berganti, maka dibutuhkan jenis padi yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Dalam situasi demikian, benih padi seperti Bancul 2 yang bisa dipanen dalam tempo 95-100 hari sangat dibutuhkan.

Bagi Surono, usahanya mengawinkan galur-galur unggul lokal tidak lebih dari semacam “protes” kepada pemerintah yang getol mendatangkan benih padi hibrida impor. Padahal di dalam negeri, menurut Surono, usaha itu bisa dilakukan bahkan dengan cara yang sederhana. “Tapi saya tetap belum puas, selama petani kita belum sejahtera hidupnya,” ujar lelaki berpenampilan sederhana ini sambil menerawang. Cita-cita yang luhur. (Imam Firdaus)

foto : Mustafa Kemal

Saturday, February 16, 2008

Bisnis 14-Feb-08: HKTI: Distribusi pupuk bersubsidi jangan serahkan ke pedagang

Kamis, 14/02/2008 19:23 WIB

HKTI: Distribusi pupuk bersubsidi jangan serahkan ke pedagang

oleh : Djony Edward

JAKARTA (Antara): Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengingatkan pemerintah agar tidak menyerahkan distribusi pupuk bersubsidi kepada pedagang karena hanya akan merugikan petani.

Ketua HKTI, Prabowo Subianto di Jakarta, Kamis menyatakan, pabrik pupuk merupakan milik negara dan ongkos produksinya dibiayai dengan uang rakyat melalui APBN, namun begitu menghasilkan pupuk yang dibutuhkan rakyat justru distribusinya diserahkan kepada pedagang.

"Distribusi pupuk bersubsidi jangan diserahkan ke pedagang karena pedagang mencari untung," katanya ketika menerima sejumlah petani unggulan peserta Apresiasi Pengembangan SDM Pertanian 2008.

Kegiatan tersebut diikuti 33 petani dari 11 kabupaten yakni Kabupaten Maros, Sulsel, Kabupaten Bungo, Jambi, Kabupaten Bulungan dan PPU, Kaltim, Kabupaten Banyuwangi, Mojokerto, Nganjuk dan Kediri Jatim serta Kabupaten Klaten, Boyolali dan Brebes.

Sebelumnya sejumlah petani yang diterima Ketua HKTI tersebut mengungkapkan terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi di wilayah mereka serta tingginya harga sarana produksi tersebut melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

"Ketika kami membutuhkan pupuk pada saat musim tanam justru langka dan harganya tinggi," kata Haryanto petani asal Kabupaten Klaten.

Dia mengungkapkan harga pupuk bersubsidi di pasaran mencapai Rp70.000/karung isi 50 kilogram lebih tinggi dari yang seharusnya Rp52.500/karung.

Prabowo yang juga Ketua Umum Asosiasi Distribusi Barang-barang Bersubsidi menyatakan, barang-barang bersubsidi bukan barang dagangan sehingga tidak boleh didistribusikan oleh pedagang karena mereka hanya mencari keuntungan.

Oleh karena itu, tambahnya, untuk membenahi sistem distribusi pupuk bersubsidi HKTI mengusulkan kepada pemerintah agar penunjukan distributor sarana produksi tersebut dilakukan oleh bupati.

Menurut dia, bupati merupakan pejabat yang mengetahui secara langsung kebutuhan pupuk maupun jumlah petani di wilayahnya sehingga penunjukkan distributor oleh bupati dirasa lebih tepat guna mengantisipasi rembesan pupuk subsidi yang seharusnya untuk tanaman pangan ke sektor lain.

"Bupati merupakan ujung tombak dalam pendistribusian pupuk. Oleh karena itu penunjukan distributor seharusnya diberikan ke bupati, mereka juga bisa mencabut izin distributor yang nakal," katanya.

Distributor pupuk bersubsidi, tambahnya, seharusnya tidak mengambil keuntungan secara langsung dari komoditas yang dimaksudkan untuk membantu petani tersebut namun dari margin ongkos angkut atau manejemen distribusi.

bisnis.com

http://web.bisnis.com/sektor-riil/agribisnis/1id43855.html